Minggu, 09 Juni 2013

Senin,
10 Juni 2013

Cerita Berjalan Gerson Poyk

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
GERSON POYK
 Putu Fajar Arcana
Jalan Raden Saleh Gang H Miun 21A, Depok, Jawa Barat. Sebatang pohon rambutan sudah lama mengering. Tiga pot anturium juga tak terurus. Rumputan bahkan mulai tumbuh liar di sudut-sudut halaman. Sebuah sofa di teras sudah pudar warnanya. Tak ada yang menyahut ketika pintu diketuk. Ruangan dalam rumah seperti tak berpenghuni. Kosong.... Setelah menelepon lewat telepon seluler, Gerson Poyk (82) tergopoh-gopoh membuka pintu ruang tamu sambil menuntaskan memakai baju batiknya. Ia tampak tetap segar di usia sangat sepuh untuk ukuran orang Indonesia.
”Semoga Anda sedang sehat, ya?”
”Oh, tetap sehat, kecuali sedikit kanker saja,” kata Gerson.
”Oh ya ampun, sejak kapan?”
”Ah, kan biasa pengarang hidup akrab dengan kantong kering, ha-ha-ha,” ujar Gerson terkekeh-kekeh.
Di masa tua, ia tetap bisa menertawakan pilihan hidupnya sebagai pengarang, yang nyaris selalu berkelahi dengan kekurangan. Beberapa lama setelah kami bercerita di teras, Gerson mempersilakan saya masuk ke ruang dalam. Di kamar tidurnya yang sempit penuh dengan buku-buku. Dipannya cuma seukuran tubuh orang dewasa dengan seprai yang sudah usang. Sarung bantalnya pun terlepas begitu saja. Di sudut ruangan seekor kecoak mati terinjak, tubuhnya dikerubungi semut. Di ruangan kecil itulah sejak era tahun 1990-an, semenjak membangun rumah di Depok, Gerson menuliskan kisah-kisahnya. ”Sejak dua tahun baru bisa memakai laptop. Sebelumnya ya pakai mesin ketik. Suaranya itu bikin tertantang,” katanya.
Tak jauh dari kamar Gerson terdapat onggokan barang-barang elektronik, seperti tabung televisi dan layar komputer, yang sudah berdebu. Rupanya benda- benda itu sudah lama tak tersentuh. Di bagian belakang rumah terdapat dapur terbuka, yang rupanya juga dibiarkan begitu saja. Selain menulis, hari-hari Gerson diisi dengan berkebun singkong dan memasak. ”Di sini tinggal dua anak saya dan seorang menantu,” kata pengarang kelahiran Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini.
Salah satu dari dua anak lelakinya, Martin Poyk (35), sejak usia belasan tahun menderita skizofrenia. ”Dia itu dulu penari waktu kami tinggal di Bali. Bahkan Martin ikut bersama Sardono (Sardono W Kusumo) ke Paris untuk menari. Itu waktu ada Sukmawati Soekarno dan Ketut Rina, yang kemudian jadi penari terkenal,” tutur Gerson.
Sepulang dari Eropa, kata Gerson, Martin jadi berubah. Ia lebih suka menyendiri dan asyik dengan pikiran-pikirannya. ”Itu Edi (maksudnya Frederik Poyk) kakak atau adik saya, ya?” kata Martin. Setiap ditanya usianya, lelaki kurus itu selalu menjawab dengan kata yang sama: 13 tahun! Tetapi ketika Gerson lupa nama satu lokasi di mana mereka sering menonton bioskop murahan di Denpasar, Martin dengan lugas menjawab, ”Lila Bhuwana.” Dan Gerson mengiyakan memang lokasi itulah yang ia maksud. ”Ha-ha-ha, ingat kamu Teng,” kata Gerson menyebut penggalan nama panggilan anak ketiganya itu. Di Bali, Martin biasa dipanggil Ateng oleh kawan-kawannya semasa kecil.
”Ibu sudah lama enggak ada, ya?” Saya memberanikan diri bertanya setelah melihat foto hitam putih di sebuah dinding ruang dalam rumah peraih penghargaan SEA Write Award tahun 1989 dari Kerajaan Thailand itu.
”Istri saya hilang kira-kira enam tahun silam,” kata Gerson.
Jawaban yang mengejutkan. ”Maksudnya?”
”Istri saya menderita dementia senilis, seperti kehilangan ingatan. Tidak bisa mengingat apa pun. Jadi kalau pergi, pergi saja. Biasanya saya gantungkan nomor telepon, tetapi pas hari itu lupa. Dia pergi, kami sudah telusur daerah-daerah sekitar Depok, Bekasi, bahkan sampai jauh, tetapi sampai sekarang tidak ada kabarnya. Mungkin entah di mana sudah,” tutur Gerson. ”Coba lihat foto ibu waktu muda, cantik kan,” katanya.
Hidup salah satu pengarang yang mulai menulis hampir berbarengan dengan pengarang-pengarang besar, seperti Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang, ini mungkin jauh lebih dramatis ketimbang karya-karyanya. Banyak yang bilang bahwa Gerson hidup di dalam karya-karyanya dan tidak dalam kenyataan di sekitarnya.
Tetapi wajahnya tetap semringah seperti tak ada beban. ”Sejak dulu saya hidup dari menulis. Sudah menghasilkan sarjana...,” kata Gerson. Empat dari lima anaknya, kecuali Martin, menjadi sarjana karena cerita-cerita yang ditulis Gerson. Bahkan dari hasil menulis ia bisa membeli sebidang tanah di Depok, tempat kini ia menetap.
Tiada banding
Gerson Poyk hampir tak punya saingan dalam hal produktivitas. Sejak tahun 1950-an sampai Jumat (7/6), Gerson tak henti menulis. Ia menggeluti berbagai ragam tulisan dari puisi, esai, cerita pendek, novel, dan drama. Bahkan, katanya, kini ia sedang menyusun sebuah naskah drama berjudul Kaisar Timor untuk satu pementasan besar nanti. ”Naskah sudah selesai saya susun. Tinggal membuat badan hukum dari perkumpulan seniman NTT, kebetulan saya jadi ketuanya,” kata Gerson.
Tidak itu saja, Gerson juga bercerita pada hari-hari terakhir ini ia sedang berusaha merampungkan sebuah cerpen yang berkisah tentang seorang pengacara pikun. ”Itu karena dia terlalu banyak membela para koruptor. Dan dalam kasusnya itu dia juga ikut makan uang hasil korupsi itu,” katanya. Nanti, katanya, kalau sudah selesai ia akan kabarkan. ”Semalam saya baru tidur pukul enam pagi,” katanya. Kata-kata yang ambigu. Sebab, artinya orang tua ini tidak tidur semalaman untuk menulis.
Anda begitu keras dengan diri sendiri?
Itu biasa bagi saya. Sudah bertahun- tahun dilakukan. Biasanya saya tidur pukul dua dini hari. Tetapi kali ini malah bablas sampai pukul enam.
Sebagai pengarang yang sepuh, bagaimana Anda menjaga agar tidak pikun seperti pengacara dalam cerita Anda nanti itu?
Saya paling benci dengan orang-orang yang brengsek. Apalagi mereka yang suka memukul. Nah, cara saya menjaga agar tidak pikun, ya mengingat orang- orang brengsek itu, ha-ha-ha. Tapi benar, itu dari kecil sudah begitu.

Sampai sekarang Anda masih mengirimkan tulisan-tulisan Anda ke media?
Ya, banyak tulisan yang diminta koran-koran. Walau hidup saya sudah menumpang makan dengan anak, saya tetap masih menerima honor dari tulisan sendiri.
Anda sangat nekat. Berhenti jadi guru, lalu berhenti pula jadi wartawan, semua demi menjadi pengarang?
Kalau saya masih jadi wartawan, terus diburu deadline, mana mungkin saya bisa menulis cerpen, novel, atau esai. Gaji saya dulu cukup besar di Sinar Harapan. Tetapi saya perlu waktu senggang untuk menulis buku. Kalau saya terus menulis di atas roda, karena dikejar-kejar waktu, kapan bisa baca buku filsafat. Ya saya keluar saja.
Apakah hidup keluarga jadi pertimbangan?
Ya, mula-mula hidup dari sangu di Sinar Harapan, terus jual tanah yang dikasih Ali Sadikin. Yang menolong saya majalah Si Kuntjung, saya bisa menulis 10 cerpen anak-anak dalam semalam. Belum terbit sudah dibayar, ditambah lagi dengan menulis di koran dan majalah. Selain itu, saya yakin selalu akan muncul pertolongan. Ini semacam bakat lahir juga, ha-ha-ha.
(Setelah berhenti jadi wartawan, Gerson selalu berkumpul dengan pengarang-pengarang yang lebih muda, seperti Goenawan Mohamad, menunggu rezeki untuk makan dari orang-orang yang dianggap lebih kaya. Terkadang, katanya, tak hanya ditraktir makan, tetapi malah diberi sangu untuk pulang ke keluarga).
Apa sih yang Anda perjuangkan dari mengarang, apakah cuma sekadar untuk hidup?
Hidup ini harus menghidupkan orang lain. Memanusiakan manusia. Kalau ada orang miskin, kita harus cari jalan bagaimana menuntaskan itu. Pengarang tugasnya mencari tools, alat konseptual, filsafat, bagaimana menuntaskan 25 juta pengangguran. Jadi, kita mencari program bangsa. Negeri kita ini kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa bumi kita subur.
Kalau begitu, apa yang Anda impikan?
Pembangunan harus dilakukan dengan transmigrasi modern. Kita tidak akan lapar lagi. Jangan terlalu percaya perusahaan besar yang cuma menjadikan rakyat desa kuli. Orang desa punya piring raksasa, yakni tanah yang subur.
Jadi ini termasuk tugas pengarang?
Iya. Merangsang supaya orang-orang berpikir kreatif, seperti wartawan cuma dengan ballpoint saja bisa keliling dunia, ha-ha-ha. Terkesan sombong ya? (Gerson juga berhenti jadi wartawan karena mendapatkan beasiswa untuk belajar menulis dalam International Writing Program University of Iowa, Amerika Serikat. Seminggu sebelum kelas resmi dimulai, ia sempat berkunjung ke Hawaii dengan uang cuma 3 dollar di saku. Ia tak habis akal, di Hawaii ia menumpang menginap di flat penulis Budi Darma yang sedang merampungkan gelar doktor. ”Kalau tidak ada juga, saya bisa tidur di kantor polisi mungkin, ha-ha-ha,” katanya enteng).
Anda masih punya obsesi? 
Menulis tentu bukan sekadar ingin dimuat media dan kemudian hidup. Saya ingin Indonesia ini sadar bahwa kita punya kebudayaan begitu kaya. Makanya sejak dulu saya ingin ada desa budaya-desa budaya di seluruh Tanah Air. Masa depan Indonesia itu ada di desa. Saya yakin kalau desa itu hidup, separuh dari penduduk Jakarta ini pulang kampung.
(Semua konsep karya-karya Gerson, katanya, didasari ajaran tat twam asi, aku adalah engkau. Ajaran ini tidak beda dengan konsep memanusiakan manusia. ”Itu juga ada dalam beberapa konsep filsafat Barat. Dengan cara ini, pengarang jadi punya peran dalam pembangunan bangsa, kan?” katanya).
Bagaimana cara Anda memelihara kepekaan sebagai pengarang?
Saya merasa itu tanggung jawab saya dan kebetulan sehat. Bulan Juni ini saya tepat berusia 82 tahun. Saya berterima kasih sama Tuhan, saya perokok berat selama 60 tahun, tetapi tidak kena kanker, kecuali kantong kering tadi, ha-ha- ha. Jadi berhenti merokok sudah sebulan, enak rasanya. Ini dibantu oleh imajinasi masa kecil saya. Di masa kecil saya tidak merokok, tapi senang. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada Sang Pencipta karena diberi kesehatan, ya sudah saya berhenti saja merokok.
Anda suka sekali bertualang, apa yang Anda cari?
Ah, itu juga bagian dari memelihara kepekaan. Dan yang terpenting selalu menumbuhkan intuisi kreatif.
Apa itu ya?
Kalau Anda sedang bertualang selalu yakin akan ada jalan untuk hidup, seperti saya ke Hawaii itu, ha-ha-ha. Dulu kalau naik sepeda di Bali saya tak pernah bawa uang, tetapi yakin akan bisa makan. Meme-meme (ibu-ibu) di warung yakin kalau mesin tik saya masih bunyi, berarti saya masih bisa bayar utang lauk dan sayur. Nah, itu karena intuisi kreatif, tak hanya dibutuhkan saat mengarang, tetapi juga sebagai jalan keluar saat hidup buntu. Itu kreatif, ha-ha-ha, dan banyak menyelamatkan saya di perjalanan.
Anda selalu menertawakan hidup Anda rupanya?
Ha-ha-ha, itu yang bikin saya tetap sehat, Bung.
Gerson pamit pergi ke kebun singkong yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Gang H Miun, Depok. Ia ingat sepeda bekas yang dulu pernah dibelinya di Pasar Kreneng, Denpasar. Kini sepeda itu sudah banyak dimodifikasi, bahkan menyerupai model sepeda balap. Sepeda itulah yang kini menemani hari-harinya berkeliling di sekitar Depok. Mungkin sambil mengayuh sepeda itu, imajinasinya berloncatan untuk kemudian tersusun sebagai cerita.
• Lahir: Namodele, Pulau Rote, NTT, 16 Juni 1931
• Pendidikan: SGA Kristen Surabaya, International Writing Program University of Iowa, Amerika Serikat
• Keluarga: Antoneta Saba (istri)
• Anak-anak: 1. Fanny Poyk 2. Frederik Poyk 3. Martin Poyk 4. Ester Poyk 5. Agnes Poyk
• Karya: Hari-hari Pertama (novel), Sang Guru (novel), Cumbuan Sabana (Novel), Oleng Kemoleng (cerpen), Surat-surat Cinta Rajagukguk (cerpen), Di Bawah Matahari Bali (cerpen), Impian Nyoman Sulastri (cerpen)
• Penghargaan: Hadiah Majalah ”Sastra” (1961), Hadiah Majalah ”Horison” (1968), Hadiah Adinegoro (1985 dan 1986), SEA Write Award (1989), Anugerah Kebudayaan Pemerintah RI (2011), Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup dari ”Kompas” (2009)